Artikel

Derita Anak dalam Pusaran Konflik

  • Di Publikasikan Pada: 17 Nov 2023
  • Oleh: Admin

Penulis : ,

ISeketaris Lembaga Kajian Gender Universitas Muhammadiyah Surabaya II Dosen FKIP-PG PAUD Universitas Muhammadiyah Surabaya II Ketua Komunitas Cahaya Bunda (KCB) II 


A’touna Et-Tufoole (Beri kami masa kecil).

A’touna Es-Salaam (Beri kami kedamaian).

Jeena N’ayedkom Bel-Eid Mmnes’alkom (Kami datang untuk mengucapkan selamat hari raya kepadamu serasa bertanya).

Lesh Ma Fee ‘Enna La ‘Ayyad Wala Zeineh (Mengapa di tempat kami tidak ada dekorasi hari raya), Ya ‘Alam (Wahai dunia), Ardi Mahroo’a (Tanah kami habis terbakar).

Ardi Hurrieh Masroo’a (Tanah kami dicuri kebebasannya).

Samana ‘Am Tehlam ‘Am Tes’al El-Ayam (Langit  kami sedang bermimpi, bertanya kepada hari).

Wein Esh-Shames El-helwe W-Rfouf El-Hamam (Di mana matahari yang indah, dan di mana kepakan sayap burung merpati?).

Ya ‘Alam (Wahai dunia), Ardi Mahroo’a (Tanah kami habis terbakar).

Ardi Hurrieh Masroo’a (Tanah kami dicuri kebebasannya).

Di atas adalah penggalan lagu “Atouna El Toufole yang kini sedang menjadi hits seiring terjadinya konflik antara Israel dan Palestina. Lirik lagu ini akan menyentuh hati siapa pun yang mencoba ikut merasakan penderitaan anak-anak yang hidup di wilayah konflik (perang). A’touna El Toufole populer berkat Remi Bandali, seorang penyanyi cilik tahun 80-an yang berasal dari Lebanon. Di Indonesia lagu ini sempat populer karena group musik Sabyan Gambus pada 1 Agustus 2018. Atouna El Tofoule sendiri berarti beri kami masa kecil. Lagu ini mengisahkan seorang anak yang merasa kehilangan masa kecilnya karena perang.

Bagi anak-anak, perang di mana pun tempatnya adalah mimpi buruk. Mereka harus kehilangan hak dasar dan masa depannya. Hak kelangsungan hidup untuk melestarikan, mempertahankan hidup, memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan terbaik. Memperoleh perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi, kekerasan dan keterlantaran. Hak tumbuh kembang berupa hak memperoleh pendidikan dan hak mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral serta sosial. Berpartisipasi yang berupa hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak-anak.

Banyak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terjadi saat konflik berkecamuk. Terdapat beberapa kasus yang masuk dalam pelanggaran HAM berat di wilayah konflik dengan korban anak-anak. Di antaranya pembunuhan, kerusakan tubuh permanen, penculikan, kekerasan seksual dan perekrutan anak-anak untuk masuk kelompok bersenjata. Selain sangat rentan mengalami cidera fisik hingga kematian, anak-anak di wilayah konflik juga juga sangat rentan mengalami depresi. Anak-anak yang mengalami depresi di bagian perjalanan hidupnya, akan memiliki peluang menjadi generasi yang hilang atau tertinggal.

Dalam teori belajar Lev Vygotsky menyatakan tumbuh kembang anak-anak sangat terpengaruh oleh faktor lingkungan. Perkembangan sosial setiap individu tidak bisa terpisah dari interaksi sosial dan budaya di mana mereka tumbuh dan berkembang. Semua memiliki pengaruh pada perkembangan kognitif, psikomotorik, mental, dan afektif pada anak-anak.

Di lingkungan yang aman, menyenangkan dan kondusif, anak-anak akan mengalami proses tumbuh kembang secara normal sebagaimana pada umumnya. Sebaliknya, jika anak tumbuh dalam lingkungan penuh konflik (perang), kekerasan dan tekanan, maka tumbuh kembangnya akan terhambat. Bahkan bisa mengalami perilaku yang menyimpang.

Dalam studi oleh badan amal Save The Children di Suriah terkait kesehatan mental dan kesejahteraan anak di wilayah konflik, hasilnya sangat mencengangkan. Studi tersebut berlangsung dengan mewancarai lebih dari 450 orang di tujuh dari 14 wilayah Suriah, mencakup anak dari beragam usia, orang tua, pengasuh, pekerja sosial, pekerja bantuan, dan guru.

Dalam laporan berjudul “Invisible Wounds: The impact of six years of war on the mental health of Syria’s Children” terbit pada tahun 2017 menemukan bahwa dua pertiga anak kehilangan orang yang mereka cintai, rumahnya terkena bom atau senjata, atau mereka terluka karena perang. Kondisi ini menyebabkan traumatik yang berat bagi anak. Bahkan sebagian dari mereka mengalami lebih dari satu kejadian traumatik akibat konflik yang terjadi.

Dalam studi tersebut juga terdapat anak kehilangan kemampuan berbicara atau mulai mengalami kesulitan bicara sejak awal perang. Mengalami  kesedihan yang sangat mendalam, mimpi buruk dan rasa ketakutan  akibat berbagai kejadian yang mereka alami saat konflik berkecamuk. Dampak traumatik lainnya adalah mereka semakin sering mengompol dan kencing tanpa sadar, yang merupakan gejala stress berbahaya, dan post-traumatic stress disorder (PTSD). PTSD sendiri adalah gangguan mental yang muncul setelah seseorang mengalami atau meyaksikan peristiwa yang menyedihkan hingga menyebabkan luka batin mendalam. Pada kondisi traumatik yang berat, anak-anak bahkan bisa melakukan bunuh diri.

Studi oleh badan amal Save the Children di Suriah tentu bisa menjadi gambaran dampak traumatik anak-anak di seluruh dunia termasuk di Palestina. Dalam studi program kesehatan mental masyarakat Gaza (Gaza Community Mental Health Program) sebuah organisasi non-pemerintah yang menyediakan layanan kesehatan mental untuk penduduk jalur Gaza, dalam beberapa tahun terakhir menemukan bahwa banyak anak usia 10-19 tahun mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD). Beberapa kejadian yang menyebabkan mereka mengalami trauma di antaranya adalah menyaksikan pemakaman, menjadi saksi penembakan, melihat orang terluka atau meninggal, melihat keluarga terluka atau meninggal karena serangan dalam konflik.

Beratnya beban derita yang harus ditanggung anak di wilayah konflik, harusnya mampu mendorong para pemimpin dan semua elemen masyarakat dunia untuk serius mengambil peran mencegah konflik berkepanjangan. Tidak ada yang diuntungkan dengan terjadinya konflik berkepanjangan. Konflik secara nyata telah merampas kebahagiaan anak-anak juga masa depannya. Maka tidak elok kiranya, di tengah segala upaya membangun solidaritas dan dukungan untuk saudara-saudara kita di Palestina, masih ada sejumlah pihak yang tega membuat statement gaduh dan mempertanyakan urgensi membantu masyarakat Palestina yang sedang berjuang melawan penindasan Israel. Sungguh untuk ini patut kita pertanyakan di mana hati nuraninya.


Sumber : https://rahma.id/derita-anak-dalam-pusaran-konflik/